Dan apabila Kami rasakan suatu rahmat pada manusia, niscaya mereka gembira dengan rahmat itu. Dan apabila mereka ditimpa suatu musibah (bahaya) disebabkan kesalahan yang telah dikerjakan oleh tangan mereka sendiri, tiba-tiba mereka itu berputus asa. (QS. Ar-Rum (30): 36)
Suatu ketika saya naik pesawat terbang. Ketika telah sampai tujuan dan pesawat terbang siap untuk landing (mendarat), namun tiba-tiba terjadi kerusakan pada pesawat terbang. Kami semua ketakutan, hamper satu jam lebih kami memanjatkan doa, menangis, beristighfar, bertobat minta ampun kepada Allah. Namun ketika kami berhasil mendarat dengan selamat, kami oun langsung lupa lagi. Seandainya seorang hamba tetap dalam keadaan seperti tatkala dirinya sedang berada dalam kesusahan dan musibah, maka imannya pasti akan semakin kuat dan keshalehannya akan terus bertambah. Akan tetapi manusia memang makhluk yang ingkar dan pelupa terhadap kebaikan-kebaikan yang dikaruniakan kepadanya.
Cerita singkat diatas dikisahkan Dr. Aidh Al-Qarni dalam bukunya Cahaya Zaman yang diterbitkan salah satu penerbit Islam. Al-Qarni dalam kisahnya diatas ingin mengingatkan kita akan watak kita sebagai manusia. Kita sering lupa dengan Allah SWT saat kita sedang memperoleh kebahagiaan. Bahkan seperti cerita diatas, kita langsung melupakan Allah, sesaat setelah kita keluar dari kesulitan. Padahal beberapa menit sebelumnya, kita bertobat, menangis, mengemis pertolongan Allah yang Maha Kuasa.
Setiap musibah yang menimpa kita atau siapa pun seharusnya menyadarkan kita. Kita adalah makhluk yang lemah. Kita tidak akan mampu mengubah takdir seseorang yang sedang terjepit, meskipun kita memiliki kemampuan untuk melakukannya.
Peristiwa gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah beberapa waktu lalu, seharusnya membuat kita ingat Tuhan. Kejadian itu jangan hanya dipahami sebagai sebuah fenomena alam yang kebetulan belaka. Bisa jadi telah terjadi berbagai kegiatan yang menyimpang dari ajaran Islam. Mungkin, kemaksiatan telah begitu merebak. Atau, fenomena kemusyrikan yang makin tidak terkendali. Dengan musibah ini, kita berharap semua kemaksiatan dan kemusyrikan hilang disana. Begitu pula kita yang tidak terkena bencana, seharusnya melakuikan evaluasi, bisa saja suatu saat nanti Allah menegur kita dengan bencana yang lebih dahsyat, akibat kita membiarkan terjadinya kemaksiatan dan fenomena kemusyrikan di sekitar kita.
Kita harus bersyukur karena Allah masih sayang kepada kita. Musibah itu sebagai bentuk peringatan Allah masih sayang kepada kita. Musibah itu sebagai bentuk peringatan Allah agar kita tidak menyimpang jauh dari jalan-Nya. Dr. Aidh Al-Qarni menyatakan, “Barangsiapa yang tidak pernah tertimpa musibah, maka dikhawatirkan dirinya terkena penyakit lalai, sehingga dia menjadi orang yang berhati keras, memiliki sikap sombong, menganggap remeh nikmat yang telah diberikan kepadanya, dan tidak mau mensyukurinya. Dia seperti orang mabuk yang tidak mengerti dan peka terhadap keadaan sekkitarnya. Yang dia pikirkan hanya masalah makanan, minum, dan kesenangan sendiri. Jadi, berbagai musibah yang menimpa merupakan salah satu hal terbesar yang mampu menggugah hati nurani dan kesadaran seseorang.”
Musibah dan kesedihan pada awalnya sangat berat dan besar sekali, seiring bergulirnya waktu, mulai terasa ringan dan kecil. Kengerian sebuah musibah tidak akan berlangsung lama terus-menerus, walau pertama kali terjadi memang menimbulkan pukulan yang sangat berat dan menyakitkan, namun berangsur-angsur akan mereda dan hilang. Sama seperti sebuah luka, pada mulanya luka memang menganga, namun kemudian akan berlangsung mengering dan akhirnya sembuh seperti sedia kala.
Seorang mukmin dituntut untuk bersabar pada pukulan pertama saat datangnya musibah, agar dia bisa mendapatkan pahala. Setelah itu, lama kelamaan kesibukan hidup akan mampu membuatnya bisa melupakan musibah tersebut. Jadi, seseorang tidak bisa mendapatkan pahala kecuali jika mampu bersabar ketika pertama kali merasakan pukulan datangnya sebuah musibah.
Kemampuan untuk bertahan pada pukulan pertama, menurut Al-Qarni, adalah yang membedakan antara orang kuat dan orang lemah, antara orang yang memiliki kemuliaan dengan yang tidak. Seseorang yang tertimpa sebuah musibah jangan sampai mengira dia akan selamanya berada dalam cengkraman musibah tersebut, sampai pada kesedihan dan pukulan yang dia rasakan bisa hilang. Hal ini sama sekali tidak akan terjadi, karena musibah dan bencana tidak lain seperti tamu, yang pasti akan pulang kembali. Ketika dia telah berpamitan pulang, maka sosoknya akan berangsur-angsur menjauh, mengecil, dan akhirnya menghilang dari pandangan.
Setiap kejadian didunia ini, baik yang membahagiakan maupun yang menyakitkan kita, sudah ada dalam sekenario Allah. Seorang hamba seharusnya dapat mengambil hikmah dari setiap kejadian fenomena alam, terlebih adri peristiwa gempa bumi yang cukup dahsyat, Tsunami, Lumpur Lapindo dll. Memang tidak setiap orang mampu memetik hikmah dari kejadian itu. Tetapi bagi orang yang beriman itu bukan sesuatu yang tidak mungkin. Karena itu, janganlah menjauh dari Allah, agar hidayah dan taufiq-Nya terus mengalir kepada kita.[*]
Dikutip dari : Bulletin Keluarga Sakinah*
No comments:
Post a Comment